Bisnis Dahsyat tanpa modal

Senin, 22 Juni 2009

Pendidikan Alat Politik, Pendidikan Alat Klas


Tidak ada jaminan atas Pekerjaan bagi Pemuda Mahasiswa.
Tetapi itu juga tidak menjawab problem masa depan pemuda mahasiswa di Indonesia, ini bisa dilihat dari jumlah angka pengangguran terdidik yang kian meningkat. Pada tahun 2006 pengangguran lulusan SLTA/SMK, D3 dan S1 mencapai 4.516.100 orang, khusus untuk D1,D2, dan D3 sebanyak 519.000 orang, sedangkan untuk jenjang S1 sebanyak 740.206 orang, atau meningkat menjadi 7,02 persen dari agustus 2006 yang jumlah pengangguran terdidik sebanyak 673.628 atau 6,16 persen. Kenaikan ini sebenarnya sudah terjadi dari tahun 2003. Bahkan untuk pengangguran setengah terbuka yaitu yang bekerja di bawah 35 jam perminggu jumlahnya pada februari 2007 mencapai 1,4 juta jiwa, naik 26 persen dari februari 2006.

Tentu ini adalah sebuah keniscayaan bagi negeri yang diperintah rejim boneka seperti Indonesia, dimana masa depan pemuda baik untuk mendapat pekerjaan ataupun mengakses pendidikan secara bebas tidak akan mungkin terjadi. Sekalilagi ini menjelaskan kepentingan dari imperialisme atas sumber-sumber tambang, pasar dan tenaga kerja/produktif di Negara koloninya. Sekali lagi dimana pendidikan akan diletakan sebagai alat untuk menjamin suplai tenaga buruh murah, tetapi dalam aspek lainnya pendidikan akan menjadi alat untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, tentu syaratnya adalah bagaimana melakukan komersialisasi pendidikan, sekaligus menumpulkan taraf kebudayaan rakyat sampai pada tahap paling rendah untuk menjamin kekuasaan dan dominasi imperialisme dan feudalism tetap kuat.
Inilah kenapa kita harus menuntut jaminan pendidikan dan lapangan pekerjaan bagi pemuda mahasiswa, jaminan atas pendidikan akan memberikan harapan bagi tenaga-tenaga produktif Indonesia mengembangkan kemampuan dan taraf kebudayaannya, dengan arahan tentu adalah berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan di Indonesia, sehingga tidak ada lagi kemiskinan dan kebodohan yang selama ini menjadi musuh utama rakyat Indonesia. Ini dapat dicapai jika ada jaminan akses pendidikan yang luas, baik lewat alokasi anggaran yang besar (minimal 20%), atau dengan memberikan jaminan pendidikan murah dan terjangkau.
Sedangkan jaminan lapangan pekerjaan tentu adalah bagaimana pemuda mahasiswa dapat menikmati pekerjaan yang layak, hal ini hanya dapat di lakukan jika ada industri yang memang menjadi milik rakyat dengan pengelolaan oleh Negara, tanpa ada lagi politik upah murah atau outsourching.
Sedangkan kedua hal tersebut terjamin bisa berjalan jika syarat utamanya yaitu reforma agraria sejati dijalankan. Tetapi hal ini mustahil akan dijalankan oleh rejim boneka anti rakyat seperti SBY-Kalla, karena jika reforma agraria sejati dijalankan artinya akan melikuidir semua kekuatan imperialisme dan feudalism yang ada di Indonesia, termasuk didalamnya adalah modal-modal asing yang berkembang lewat berbagai perusahaan dan tambang di Indonesia karena akan diambil dan diabdikan untuk rakyat. sebegitu juga tanah-tanah yang kepemilikannya akan ditata kembali tanpa monopoli dengan prioritas utama kaum tani, sehingga hal ini akan mengancam kedudukan para tuan-tuan tanah.
Sehingga reforma agraria sejati hanya dapat dilakukan oleh perjuangan segenap rakyat Indonesia, yang menumpukan kepemimpinan pada aliansi kelas buruh dan tani. Sehingga tidak ada alasan apapun bagi pemuda mahasiswa untuk tidak berjuang bersama buruh dan tani, karena hakekatnya keberhasilan atas jaminan lapangan pekerjaan dan pendidikan terletak pada keberhasilan pada perjuangan demokratis nasional yang didalamnya ada bagaimana reforma agraria dapat terwujud. Jadi inilah saat pemuda mahasiswa meneriakan, slogan perjuangan” pemuda mahasiswa berjuang bersama rakyat”.
Kenaikan Biaya Pendidikan, Politik Diskriminasi Rejim, Kehancuran Tenaga Produktif Indonesia.

Praktek-praktek komersialisasi pendidikan terutama untuk perguruan tinggi, yang menyebabkan naiknya biaya kuliah di Indonesia semakin kencang terjadi terutama pasca pemerintah mengesahkan berbagai regulasi untuk memperkuat kampus menjalankan berbagai praktek perdagangan pendidikan, antara lain disahkannya UU BHMN tahun 1999, UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, atau rencana pengesahan RUU BHP, sampai yang paling baru dengan disahkannya UU PM No 25 tahun 2007, dimana pendidikan adalah salah satu bidang usaha terbuka untuk investasi baik dari dalam maupun luar negeri.

Hal ini hakekatnya sama saja dengan mendorong pendidikan untuk di jadikan badan usaha yang mampu menghasilkan keuntungan selayaknya perusahaan. Sementara dilain pihak rejim SBY-Kalla juga semakin memberikan ruang untuk terjadinya praktek komersialisasi pendidikan terutama di tingkat pendidikan tinggi, ini dilihat dari pengurangan jatah subsidi bagi perguruan tinggi baik negeri maupun swasta kemudian memberikan ruang sebesar-besarnya untuk perguruan tinggi mencari pemasukan secara mandiri. Tentu dalam wilayah ini perguruan tinggi melihat potensi terbesar untuk mencari keuntungan adalah dari konsumennya, yaitu masyarakat.

Tindakan ini pada hakekatnya adalah sebuah politik diskriminatif yang dijalankan oleh Negara dibawah kepemimpinan rejim SBY-Kalla, bagaimana mungkin akses pendidikan akan terbuka bagi seluruh golongan rakyat di Indonesia jika biaya pendidikan begitu tinggi. Karena dalam prakteknya yang memiliki keleluasaan mengakses pendidikan tinggi di Indonesia adalah dari golongan menengah atas, bahkan dalam perjalanannya, akses pendidikan semakin menciut hanya untuk golongan atas.

Universitas Airlangga (Unair) surabaya misalnya, untuk tahun 2008 untuk mahasiswa dari jalur umum di bebani biaya antara Rp 5-100 Juta, angka tersebut belum termasuk BOP yang jumlahnya bervariasi. Jurusan dengan biaya paling tinggi adalah pendidikan kedokteran dengan BOP Rp 6 juta, sedangkan biaya sumbangan peningkatan dan pengembangan pendidikan (SP3) sebesar 100 juta. Jurusan lain BOPnya antar 2,5 sampai 6 juta tergantung jurusan yang dipilih mahasiswa.

Sementara di ITS, mahasiswa di bebani SPP sebesar 3,5 juta persemester dengan biaya awal masuk antara RP 35 juta sampai Rp 45 juta. Sementara di universitas padjajaran (Unpad) Bandung untuk mahasiswa tahun 2008/2009 biaya penyelenggaraan pendidikan (BPP) rata-rata 2 juta rupiah persemester, serta SPP Rp 1,5 Juta/semester untuk eksak dan Rp 1,350 juta/ semester untuk non eksakta. Diluar itu mahasiswa baru masih di bebani biaya pengembangan sebesar Rp 4 juta yang wajib dibayar diawal kuliah.

Sementara di UNHAS selain lewat SNMPTN, juga dibuka jalur nonsubsidi yang membebankan mahasiswa biaya mencapai Rp 20 juta/tahun dengan dalih untuk subsidi silang, di UNS Surakarta untuk mahasiswa dari jalur Sementara Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, jalur non-SNMPTN ada dua, yaitu penelusuran bibit unggul sekolah (PBUS) dan penelusuran minat dan kemampuan (PMDK). Sumbangan pembinaan pendidikan dari program-program Rp 660.000 per semester. Namun, bagi PBUS masih ditambah biaya pengembangan institusi (BPI), untuk Fakultas Kedokteran Rp 100 juta, tetapi hanya Rp 2,5 juta bagi yang lewat PMDK, Bagi jurusan lain BPI rata-rata Rp 10 Juta. Bahkan Universitas Indonesia tahun ini membuka kelas Internasional, untuk kedokteran, teknik, dan ekonomi. Tentu dengan biaya yang berbeda-beda untuk fakultas kedokteran, biaya masuk Rp 70 juta dengan biaya per semester Rp 35 juta. Fakultas teknik Rp 20 juta per semester dengan uang pangkal Rp 15 juta, dan fakultas ekonomi uang pangkal Rp 26 juta dan Rp 25 juta per semester.

Dari kenyataan yang ada, pembiayaan yang begitu besar kepada rakyat yang ingin mengakses pendidikan tinggi sudah mencerminkan politik diskriminatif dari rejim SBY-Kalla, karena dengan jelas telah membuat garis pembeda untuk rakyat menikmati hak atas pendidikan. Artinya SBY-Kalla sama sekali tidak akan pernah memberikan kesempatan kepada anak buruh, dengan upah buruh hanya Rp 970.000/bulan, atau anak dari petani dengan upah paling besar Rp 15.000/ hari atau sekitar Rp 450.000/ bulan, untuk dapat menikmati pendidikan tinggi. Bahkan untuk golongan dan kelas lain semisal, pegawai rendahan, prajurit golongan rendah atau pedagang kecil, juga tidak akan sanggup untuk menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi.

Keadaan ini sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan saat Indonesia di jajah belanda, pendidikan saat politik etis dulu di gunakan untuk mensuplai tenaga-tenaga administrasi perkebunan yang cakap dan mau dibayar murah, tetapi akses pendidikannya pun hanyalah untuk anak-anak kaum bangsawan, tuan tanah atau pangrehpraja. Hal ini untuk menjamin kesetiaan dari golongan yang diuntungkan dengan politik diskriminatif ini, selain untuk tetap “membodohkan” rakyat.

Saat inipun hakekatnya sama, bagaimana rakyat, terutama kaum tani serta buruh dengan masa depannya di biarkan dalam kebodohan. Sementara tenaga terdidik yang telah mengeluarkan biaya begitu tinggi tentu diharapkan tidak akan memikirkan hal-hal lainnya selain bagaimana mampu mengembalikan biaya yang sudah dikeluarkan bahkan kalau perlu akan jauh lebih besar menimbun keuntungan materi, tentu hal ini hanya dapat dilakukan jika dia mau mengabdikan ilmu dan keahliannya kepada imperialis, maka jadilah dia pelayan baru imperialis, serta menjamin imperialis tetap mampu berkuasa di Indonesia.

Tetapi bagi rejim penghamba imperialis SBY-Kalla, yang paling penting bagi mereka saat ini adalah bagaimana pendidikan selain untuk suplai buruh murah bagi industry tuan imperialisnya. Pendidikan juga digunakan sebesar-besarnya untuk mencari keuntungan dengan jalan diperdagangkan, sehingga hakekatnya SBY-Kalla tidak akan peduli bagaimana masa depan lulusan perguruan tinggi di Indonesia, mampu mendapat pekerjaan yang layak atau tidak, bahkan sekalipun jadi pengangguran. Tidak heran pembukaan berbagai jurusan atau fakultas baru dilakukan dengan harapan akan mampu menarik minat mahasiswa dengan ilusi mendapat pekerjaan yang mudah.

Sehingga syarat untuk menggunakan segala cara untuk intitusi perguruan tinggi mendapatkan mahasiswa pun digunakan, selayaknya persaingan antar perusahaan, maka perguruan tinggi dengan modal besar serta kualitas baguslah yang akan berkuasa. Sedangkan perguruan tinggi dengan modal kecil harus gulung tikar, karena tidak perlu “pintar” dan “lulus” ujian masuk jika ingin masuk dalam perguruan tinggi, cukup dengan menyediakan uang dia bisa bebas memilih masuk ke perguruan tinggi manapun yang disukai.

Tetapi pada tahap berikutnya pun lulusan perguruan tinggi tetap harus berhadapan pada kenyataan muramnya masa depan yang harus dihadapi oleh tenaga produktif Indonesia. Jaminan terhadap pekerjaan yang layak dipastikan tidak ada, sebabnya tentu saja adalah karena industri Indonesia hanya perlu “cukup” dikerjakan oleh buruh berskill rendah sebagai akibat mayoritas industri yang ada adalah industri manufaktur dan perakitan, yang memang tidak memerlukan tekhnologi maju. Sehingga yang lebih banyak di gunakan di Indonesia sebagai buruh adalah tenaga dari lulusan SLTA atau SLTP bahkan yang lebih banyak tenaga buruh di Indonesia berasal dari lulusan SD-SLTP. Selain itu memang politik upah murah yang akan lebih mudah diterapkan, atau sistem kontrak dan outsourching karena rendahnya kualitas tenaga produktif Indonesia.

Bisa dibayangkan bagaimana lulusan mahasiswa teknik perkapalan misalnya, dimana dia akan kerja serta yang paling penting mampu mengembangkan teknologi jika di tidak ada industri pembuatan kapal, pilihannya hanyalah bekerja pada perusahaan asing dan tentu saja pengembangan teknologinya untuk perusahaan itu, atau jika tidak maka yang dilakukan adalah bekerja tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang diambilnya saat kuliah, tentu tidak akan ada kelahiran teknologi maju jika seperti itu, celakanya ini adalah yang paling banyak terjadi pada lulusan perguruan tinggi di Indonesia.

Bagi manusia, pendidikan sekarang memegang peranan yang begitu penting. Karena menjadi poros dari perkembangan budaya manusia, termasuk didalamnya perkembangan ilmu pengetahuan adalah pendidikan. Apalagi jika kita meletakan pendidikan kedalam sistem sosial masyarakat, seperti Negara, fungsi pendidikan akan menjadi faktor yang menentukan. Karena kemajuan Negara tentu akan bertumpu pada perkembangan manusianya atau yang biasa kita sebut tenaga produktifnya. Pada hakekatnya sebuah Negara mampu besar dan maju, akan sangat ditentukan bagaimana sistem ekonomi, politik serta budaya yang dijalankan oleh manusianya, disinilah fungsi pendidikan akan memegang peranan untuk mengarahkan perkembangan tenaga produkif di Negara tersebut supaya bisa mendukung berbagai kebijakan Negara tersebut agar tumbuh dan berkembang maju. Tentu arah dan perkembangan Negara tersebut harus sesuai keinginan dan kepentingan kelas dan golongan penguasa Negara tersebut.

Pendidikan Adalah Politik, Pendidikan adalah Alat Kelas.
Inilah kenapa disebutkan bahwa pendidikan disebut alat kelas, dalam sebuah sistem negara tentunya adalah alat kelas penguasanya. Untuk menjamin bahwa otak tenaga produktifnya sesuai dengan apa yang diinginkan oleh kelas penguasa sebuah Negara, salah satu yang penting adalah Negara harus manciptakan serta menjalankan sebuah sistem pendidikan nasional. Didalam sistem pendidikan yang akan dijalankan tentu akan sangat mementingkan kelas dan golongannya yang jadi prioritas utama, kelas lain tentu akan dihambat bahkan bisa jadi akan ditutup aksesnya jika memang dianggap tidak menguntungkan atau tidak sesuai dengan arah kebijakan dari rejim tersebut.

Tidak heran jika ditemukan perbedaan yang mencolok antara satu Negara dengan Negara lainnya dalam menjalankan sistem pendidikannya. Ada Negara yang begitu memperhatikan keberlangsungan sistem pendidikannya bahkan dengan menjamin rakyatnya mampu mengakses semua jenjang pendidikan yang ada tanpa harus memikirkan biaya yang harus dikeluarkan, dengan harapan bahwa dari sistem pendidikan yang dijalankan mampu melahirkan tenaga-tenaga ahli yang mengabdikan pikiran dan pekerjaannya terhadap kemajuan Negara dan kesejahteraan rakyat.

Tetapi ada juga Negara dimana pendidikan seolah-olah bukanlah sesuatu yang penting, ini bisa dilihat dari sistem pendidikannya yang tidak arahnya, bahkan jaminan rakyat untuk mampu mengakses pendidikan pun dipersulit bahkan dipotong, lewat pencabutan subsidi ataupun meletakan fungsi pendidikan bukan pada hakekatnya yaitu sebagai alat untuk memajukan budaya manusia, tetapi justru sebagai sumber investasi untuk mengeruk keuntungan materi yang sebesar-besarnya dengan cara melakukan praktek-praktek komersialisasi pendidikan.
Hal yang akan menciptakan kesenjangan yang begitu besar antara golongan yang mampu mengakses pendidikan dan golongan yang tidak mampu, yang lebih parah adalah golongan yang mampu mengakses pendidikan tidak akan pernah berpikir untuk mencurahkan pikiran dan pekerjaannya kepada Negara dan untuk kesejahteraan rakyat, tetapi dari keahlian yang didapat mampu mengumpulkan keuntungan materi yang sebesar-besarnya untuk pribadi tanpa sekalipun peduli dengan realitas sosial di sekitarnya. Bahkan seringkali lulusan-lulusan dari model sistem pendidikan seperti ini menggunakan keahliannya untuk membodohi serta menindas rakyat.

Tetapi model sistem pendidikan seperti ini tidak serta merta mampu menghasilkan tenaga lulusan yang ahli, tetapi justru potensi untuk menurunnya kualitas sistem pendidikan dan lulusannya terbuka lebar, karena hakekatnya yang dicari adalah keuntungan materi yang sebesar-besarnya, bukan pada peningkatan kualitas lulusan atau sistem pendidikan. Karena pada hakekatnya pendidikan model seperti ini memang tidak diabdikan untuk rakyat, tetapi di abdikan pada para kapitalis monopoli yang mengendalikan pasar dan modal. Sehingga harapan untuk melihat pendidikan digunakan untuk mencetak tenaga produktif dengan skill tinggi tetapi mengabdi pada rakyat sangatlah kecil, adanya adalah bagaimana pendidikan di gunakan untuk menjamin tersedianya tenaga kerja murah.

Ini juga yang terjadi di Indonesia saat ini, secara kongkret sistem pendidikan di Indonesia tidaklah mampu melahirkan lulusan yang berkualitas terutama untuk pendidikan tinggi. bahkan saat ini perguruan tinggi terbaik di Indonesia (UI, UGM,ITB) hanyalah di posisi 300-an untuk 500 perguruan tinggi terbaik sedunia, kalah dari Negara tetangga semacam Malaysia atau singapura, tetapi pada praktek lainnya justru terjadi kenaikan atas biaya pendidikan yang begitu besar.

Senin, 01 Juni 2009

Perampasan Tanah & Ekspansi Perkebunan Skala Besar = Perusakan Lingkungan


Tanggal 5 Juni adalah sebuah hari yang diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Menanggapi hari penting ini, saya mencoba melihat dari pertanyaan "Mengapa Lingkungan Hidup Bisa Rusak? (Khususnya Kalimantan Barat) ". Jawabannya bisa bermacam - macam, seperti adanya Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI), limbah industri yang dibuang ke sungai dan laut, ekspansi perkebunan skala besar, atau illegal logging. Bisa dikatakan semua jawaban tersebut benar. Tetapi saya tidak akan menyoroti semua permasalahan diatas, hanya masalah yang sangat menyesakkan khususnya bagi saya yaitu masalah ekspansi perkebunan skala besar.

Saat Pemerintah Daerah Kalimantan Barat mengeluarkan izin untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit maupun perkebunan skala besar lainnya (namun yang dominan kelapa sawit) meskipundengan berbagai peraturan yang harus dipenuhi ole perusahaan seperti AMDAL dsb, secara tidak langsung pemerintah adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di bumi Khatulistiwa tercinta ini. Belum lagi ditambah rencana Pemda untuk menjadikan perbatasan Indonesia dengan Malaysia sebagai daerah pengembangan perkebunan kelapa sawit. Kedepannya berbagai masalah akan timbul, seperti adanya permasalahan dengan tanah masyarakat adat, kemudian perampasan tanah, samapai kemudian kerusakan lingkungan.

Terjadinya gesekan antara perusahaan dan masyarakat adalah hal yang paling sering terjadi. Tanah milik masyarakat merupakan target utama untuk dijadikan lahan untuk penanaman kelapa sawit (masih teringat jelas dalam ingatan saya beberapa kasus mengenai tanah), dan yang paling dirugikan disini adalah kelompok masyarakat adat, atas rusaknya tanah adat mereka, kuburan nenek moyang dsb.

Pembukaan perkebunan baru menyebabkan terjadinya pembukaan lahan secara besar - besaran, dan akibatnya luas hutan Kalimantan Barat - yang dulu terkenal akan hutannya - menjadi berkurang, atau bisa dikatakan hampir punah. Hal ini juga mempengaruhi ekosistem yang terdapat di dalam hutan, kemudaian sungai - sungai tercemar dsb.

Yang paling menunjang terjadinya kerusakan lingkungan di Kalimantan Barat adalah karena Ekspansi Perkebunan Skala Besar terutama Kelapa Sawit, yang kemudian menyebabkan terjadinya penguasaan atau monopoly terhadapa tanah.

Dalam Rangka memperingati Hari Lingkungan hidi sedunia pada 5 Juni ini, penting bagi kita untuk mengkampanyekan persoalan - persoalan yang menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan.

Minggu, 24 Mei 2009

UU BHP (BAKAL HANCURNYA PENDIDIKAN)

Kontroversi soal disahkannya UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) di kalangan mahasiswa dan rakyat Indonesia pada umumnya bukan hal baru. Sejak UU tersebut berupa draft atau rancangan undang - undang, aksi protes yang mempertentangkan UU tersebut jug telah terjadi dimana - mana. Namun aksi protes tersebut seakan hanya menjadi angin lalu bagi pemerintah, seakan - akan UU BHP No. 9 tahun 2009 adalah sebuah kewajiban yang mau tidak mau harus dikeluarkan. Dan itu menjadi penting untuk melihat secara lebih mendalam apa yang sesungguhnya melatarbelakangi lahirnya UU tersebut.

Tahun 2001 pemerintah Indonesia telah meratifikasi Kesepakatan Bersama Tentang Perdagangan Jasa (General Agreement on Trade and Service / GATS) Organisasi perdagangan dunia (World Trade Organization / WTO) dimana pendidikan dimasukan menjadi salah satu dari 16 komoditas (barang dagangan). Dengan demikian, para investor bisa menanamkan investasinya di sektor pendidikan (terutama untuk pendidikan tinggi).

Skema ini kemudian di coba pada 8 Perguruan tinggi besar di Indonesia yaitu UI, ITB, IPB, UPI, USU, UNAIR dan UNDIP dalam bentuk Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum Milik Negara (PTN BHMN). Peraturan pemerintah No. 60 tahun 1999 tentang perguruan tinggi sebagai badan hukum (PP No 60/61 tahun 1999) menjadi payung hukum dalam menjalankan pem-BHMN-an di 8 Perguruan Tinggi tersebut. Namun, kampus - kampus tersebut tetap tidak berubah posisi dibawah 250 Universitas terbaik di dunia. Malaysia yang kualitas pendidikannya di bawah Indonesia pada era Soekarno telah jauh meninggalkan Indonesia. Bahkan Kualitas pendidikan Indonesia masih kalah jauh dari Vietnam yang baru saja membangun negaranya pasca perang Vietnam tahun 1975.

Pengesahan UU BHP ini juga tidak lepas dari adanya mandat UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. UU Sisdiknas tersebut telah mengamanatkan dalam pasal 53 untuk mebuat undang - undang tentang badan hukum pendidikan. Bahwa pendidikan kemudian akan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dengan masyarakat. Dalam UU BHP ini, instistusi pendidikan tinggi kemudian diperbolehkan melakukan praktek komersial dengan mendirikan sebuah badan usaha mandiri ataupun membuat perjanjian investasi dalam bentuk portofolio untuk menutup kekurangan dari biaya pendidikan.

Mencermati keseluruhan isi yang tercantum dalam UU BHP, setidaknya ada lima (5) hal yang akan membawa pendidikan negeri ini menuju kehancuran. Pertama, tentang privatisasi pendidikan. UU BHP secara terang - terangan menegaskan bahwa pendidikan tidak lagi menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi tanggung jawab bersama masyarakat yang secara kongkret dimanifestasikan dalam bentuk otonomi pendidikan untuk mengelola kurikulum hingga persoalan pendanaan. Disisi lain, proses investasi juga dijamin di UU BHP.

Kedua, tentang komersialisasi pendidiakan. Otonomi dalam pengelolaan pendidikan menerapkan cara - cara tersendiri untuk membiayai proses pendidikan. Metode memperoleh pendanaan antara lain, pendirian unit - unit komersial, hingga menyewakan asset - asset ataupun fasilitas kampus meskipun tidak berkaitan dengan kepentingan akademik atau diluar kepentingan mahasiswa sekalipun.

Ketiga, tentang perubahan orientasi Pendidikan. Pendidikan secara hakikat bertujuan meningkatkan taraf berpikir serta kebudayaan sebuah masyarakat. Sehingga, lembaga atau institusi pendidikan juga harus memainkan peran tersebut sebaik - baiknya. Sebaliknya, ketika pendidikan lebih berorientasi pada bisnis, lembaga pendidikan kemudian tidak lagi menjadi institusi pencerdasan bangsa, tetapi bisa berubah cenderung menjadi perusahaan jasa.

Keempat, tidak ada jaminan demokratisasi di kampus. dalam UU BHP, organ penentu kebijakan umum tertinggi adalah yang menetukan segalanya, termasuk aturan - aturan dalam sebuah institusi pendidikan. hal ini tentu saja sebuah ancaman bagi proses demokratisasi yang mengedepankan aspek partisipasi dalam seluruh proses pendidikan termasuk dalam pembuatan kebijakan.

Kelima, ancaman kesejahteraan bagi guru, dosen dan karyawan. Pukulan atas lahirnya UU BHP tidak hanya akan dialami oleh pelajar dan mahasiswa. bagi guru, dosen dan karyawan, lahirnya kebijakan ini juga akan berpengaruh terhadap kehidupan mereka. Ketika BHP diberlakukan , status mereka adalah pekerja dan harus melakukan perjanjian kerja di sebuah BHP sesuai AD / ART dan peraturan perundangan yang berlaku.

Saat UU BHP diterapkan, niscaya pendidikan Indonesia tidak ubahnya seperti perusahaan yang mencari keuntungan melalui proses pendidikan.